Pakande-kandea. Tatap dan suapi aku.
“Wore!!, maimo sapo lapana puuna gau!”, demikianlah kata – kata yang di ucapkan oleh salah seorang pria Wolio, membuka dan mempersilakan para undangan untuk mulai menyantap makanan yang telah tersaji di depan mereka. Sebuah kalimat yang bila di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti “Ayoo.. Mari kita turunkan / santap lapa nya!”. ‘Lapa’ yang di maksud adalah panganan nasi ketan yang di bungkus oleh daun singkong atau daun kelapa.
Namun kata ‘lapa’ pada kalimat di atas juga memiliki arti ‘tugas pokok’ ( lapana puuna gau yang berarti beban / tugas, yang di amanah kan oleh dewan legislative di masa kesultanan Buton di masa yang lalu ). Dengan demikian “maimo sapo lapana puuna gau!” juga kira-kira bermakna kias ‘lega sudah,..tugas negara telah di jalan kan!’.
Tak lama kemudian pria yang sama pun berseru, “Katupana mia bhari’ amatajamo” yang kira-kira berarti “Ketupat nya sudah siap tersaji!” . Penggunaan kata ‘ketupat’ di sini juga bermakna sebagai ketetapan pihak penguasa – dalam hal ini kesultanan Buton – atas hak-hak rakyat nya yang sudah di nanti-nantikan. Sebuah ketetapan yang di buat oleh penguasa bagi sebesar-besar nya kesejahteraan rakyat nya.
Maka di angkatlah semua ‘panombo’ (tudung saji) yang tadi nya menutupi talam-talam berbahan kuningan dan tersingkap lah beragam makanan khas daerah yang mengundang selera, siap untuk di santap bersama. Tentu nya semua di lakukan setelah pembacaan doa Islam yang di lakukan oleh tetua adat. Konon, dahulu kala mantra-mantra lah yang di bacakan sebelum para hadirin menyantap makanan. Kehadiran Islam di tanah Buton tidak serta merta mengikis budaya asli suku Wolio. Kedua nya justru membaur menjadi satu kesatuan harmonis dalam keselarasan.
Cuplikan suasana seperti diatas biasa kita lihat di acara ‘Pakande-kandea’, sebuah ritual atau tradisi jamuan makan-makan bersama masyarakat. ‘Pakande-kandea’ adalah warisan budaya masyarakat Wolio, suku yang mendiami Pulau Buton di provinsi Sulawesi Tenggara.
Awalnya tradisi yang di atur dengan nilai-nilai adat, etika dan kesopanan ini di selenggarakan sebagai syukuran atas kemenangan negeri dalam sebuah peperangan, atau juga sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas hasil panen yang telah di anugerahkan NYA. Acara ini juga sering di adakan bertepatan dengan hari ulang negeri atau kesultanan.
Sering berjalan nya waktu, Pakande-kandea juga sering di selenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur atas telah terlaksana nya ibadah di bulan puasa, karena nya tradisi ini sering di temui di tengah-tengah komunitas masyarakat Buton Wolio tak lama setelah hari raya Idhul Fitri tiba. Di beberapa kesempatan sering kali di adakan setelah tahun baru tiba.
Menarik untuk menyimak tradisi Pakande-kandea di masa sekarang karena selain selalu membawa banyak sekali warisan budaya masa lalu, tradisi ini juga kerap di gunakan oleh para generasi muda Wolio untuk mencari calon pasangan hidup nya. Ragam makanan yang tersaji di atas nampan yang sengaja di letak kan berjejer satu sama lain sungguh mengundang selera bagi siapa saja yang melihat nya.
Para remaja pria Wolio pun duduk berjejer di salah satu sisi barisan talam tersebut. Sementara di sisi yang lain para remaja putri nya bersiap menyuapi pria yang duduk di hadapan nya, memberikan kesempatan bagi para remaja berlainan jenis ini untuk saling melempar pandang.
Busana dan penampilan para remaja putri Wolio ini pun lain dari biasa nya, bentuk sanggul yang khas yang menyatu dengan rambut di atas kepala menandakan bahwa para remaja putri ini adalah gadis-gadis yang belum terikat oleh sebuah ikatan perkawinan. Tak hanya itu, para remaja putri ini juga memakai pakaian khas daerah yang oleh masyarakat Wolio di sebut ‘kombo wolio’ yang juga berarti bahwa pria mana pun bisa berkenalan dengan nya dan bila cocok, mempersunting nya.
Alunan pukulan gong yang menyatu dengan tetabuhan ‘mbololo’ – sejenis gamelan di pulau Jawa – semakin memberikan nuansa asli kedaerahan yang membungkus rapi sebuah kebersamaan. Melantun pula lah ‘douna-una’ dan ‘kadhandio’ , syair dan pantun-pantun daerah yang menggugah semangat dan menggairahkan kehidupan masyarakat yang mendengar nya.
Di masa-masa sekarang, Pakande-kandea adalah juga tradisi mempererat tali silaturahmi antar warga dan pejabat daerah. Juga sebagai jamuan bagi pendatang yang menginjak kan kaki nya di tanah Wolio.
Tidak ada salah nya bila anda datang berkunjung ke Buton dan menikmati pemandangan tradisi Pakande-kandea ini menyemarak kan kehidupan masyarakat nya. Pulau ini bisa di jangkau hanya dengan satu jam penerbangan menggunakan pesawat komersial dari Makassar ke Bau-Bau, salah satu kota transit yang berada di bagian selatan Pulau Buton. Alternatif lain yang bisa di ambil bila anda berkesempatan untuk mengunjungi pulau dengan sejuta pesona budaya nya ini adalah melewati ibukota provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu kota Kendari.
Dari Kendari, perjalanan bisa di lanjutkan dengan menaiki kapal cepat dengan waktu tempuh kuran Lebih selama 5 jam setelah sebelum nya melakukan pemberhentian di pelabuhan Raha di Pulau Muna.
Ragam sajian daerah seperti ‘kasuami’, ‘lapa-lapa’, ‘kado minya’ dan ‘nasu Wolio’ serta ‘cucuru’ bakal tersedia bagi anda penikmat kuliner sejati, tentu saja anda bakalan menikmati hidangan tersebut dengan sesekali mendengar cekikik tawa para remaja yang saling berpandang dan bersuapan mesra.
Title : Acara Pekakande-Kande Buton
Description : Pakande-kandea. Tatap dan suapi aku. “Wore!!, maimo sapo lapana puuna gau!”, demikianlah kata – kata yang di ucapkan oleh salah seo...