Haroa, panjatan rasa syukur
Suasana mistis lah yang akan lebih terasa di awal perhelatan nya bila menyaksikan dan mengikuti ‘ritual’ ini. Aroma khas dupa yang berbaur dengan irisan kulit dari buah delima segera akan terasa di indra penciuman siapa saja. Kepulan asap dengan segera mengisi ruangan membuat suasana menjadi semakin mistis. Renta nya usia sang pembakar dupa mungkin akan mengingatkan kita dengan ‘orang pintar’ atau ‘dukun-dukun’ yang biasa terlihat di film-film horror. Semua yang hadir di ruangan pun terdiam, seakan terhipnotis oleh kekuatan yang datang dari dunia yang lain, membisu, menanti apa lagi yang akan di lakukan sang pembakar dupa.
Ayat-ayat suci Al-Quran pun terlantun dari mulut pria renta itu, di saat yang sama nuansa mistik pun buyar seketika. Ayat-ayat yang sudah akrab di telinga terdengar begitu syahdu, mendamaikan hati para warga dan keluarga yang telah hadir dan duduk berkeliling mengisi ruangan.
Ritual hasil bauran budaya lokal dan Islam ini bernama ‘Haroa’, sebuah panjatan rasa syukur kepada sang Maha Pencipta yang kerap di selenggarakan di kalangan masyarakat Wolio, suku asli yang mendiami pulau Buton di Sulawesi Tenggara. Acara ini lebih sering di lakukan untuk memperingati hari hari besar ummat Islam seperti peringatan Maulid Nabi (kelahiran) Muhammad SAW, peringatan Lailatul Qadr’ (turun nya Al-Quran) atau juga dalam rangka menyambut datang nya hari pertama berpuasa di bulan Ramadhan.
Seperti juga yang banyak terjadi di daerah lain di Indonesia, agama Islam yang datang ke pulau Buton mengalami proses perpaduan dengan kepercayaan suku asli yang telah mendiami tanah ini. Dupa yang dibakar di peringatan Haroa adalah simbolisasi spiritual dari kepercayaan dinamisme ataupun animisme yang sedari awal sudah mengakar di kalangan penduduk asli yang mendiami pulau Buton dan sekitarnya.
Kedatangan Islam di pulau Buton tidak serta merta mengikis habis kepercayaan masyarakat setempat, namun justru membaur menjadi satu kesatuan. Konon tradisi Haroa sudah di lakukan turun-temurun semenjak zaman keemasan kesultanan Buton yang pemerintahan nya berpedoman kepada norma-norma keislaman.
‘Lebe’, demikianlah istilah untuk sang pembaca ayat-ayat Al-Quran tadi.
Dia lah yang memimpin upacara pembacaan doa berikut pembakaran dupa nya. Seorang ‘lebe’ – yang kebanyakan sudah tua usia nya – kerap harus berada di lebih dari satu rumah dalam sehari untuk mempimpin upacara pembacaan doa di ritual ‘Haroa’, mengingat peringatan hari-hari besar agama Islam sering di lakukan bersamaan di beberapa rumah di sebuah kampung atau desa.
Setelah pembacaan doa dilakukan, para keluarga dan warga yang di undang bisa menyantap hidangan yang telah disediakan. Sebuah ‘Tala koa’ atau nampan yang berukuran lumayan berukuran besar lazim nya diletakkan di tengah-tengah ruangan. Beragam jajajan tradisional pun tersaji di atas nya, ‘kuliner wajib’ yang di sajikan di acara Haroa diantara nya adalah ‘sanggara’ (pisang goreng), ‘baruasa’ (kue yang terbuat dari beras), ‘cucuru’ (kue cucur), kue bolu dan onde-onde.
Selain itu ada juga ‘nasi Wolio’ (ayam bakar berbumbu santan) dan sepiring nasi putih. Nampan di tengah-tengah ruangan ini biasa nya di sajikan satu paket kepada kepala keluarga (bila merupakan acara syukuran keluarga), atau juga kepala pemerintahan tertinggi yang diundang seperti kepala desa, camat dan seterusnya.
Beberapa Tala koa lain yang tertutup panamba (tudung saji) pun berjejer apik di tengah ruangan. Para anggota keluarga atau warga yang hadir juga di suguhkan hidangan yang sama. Kerap kali ikan bakar beserta sambal colo-colo nya juga dihidangkan, demikian juga mie goreng dan beragam sayuran lain. Sambil menyantap hidangan yang tersaji, obrolan dan canda pun mewarnai ruangan. Lebih eratlah simpul tali silaturahmi yang tersambung dan semakin akrab lah kekerabatan yang terjalin diantara keluarga, kerabat dan warga.
Selain menjalin keakraban dan lebih mempererat tali silaturahmi diantara sesama, tradisi ‘Haroa’ ternyata juga membawa efek positif lain kepada kehidupan ekonomi masyarakat Wolio. Di bulan-bulan tertentu, seperti di bulan Ramadhan / puasa, makanan yang biasa di hidangkan di acara syukuran ini bisa laku keras. Percaya atau tidak percaya, seorang pedagang kue di kota Bau-Bau bisa mendaptkan omzet sampai dengan 10 juta dalam sehari dengan berjualan kue bolu, onde-onde, kue cucur dan kudapan wajib Haroa lain nya.
Selain Haroa masih banyak lagi tradisi masyarakat Wolio yang menarik dan memiliki arti tersendiri. Beberapa ritual yang masih sering di jumpai di perkotaan seperti di kota Bau-Bau adalah ‘pakande-kandea’ (temu jodoh), ‘Bululingiana Pau’ (prosesi pelantikan sultan Buton) dan yang lain nya.
Kota Bau-Bau sendiri merupakan kota dagang sekaligus kota transit yang berada di pulau Buton. Sebuah pulau dari gugusan kepulauan yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau ini selain memiliki beragam ritual adat dan keagamaan, juga memiliki destinasi wisata budaya dan alam yang menarik. Wakatobi contoh nya., keindahan terumbu karang dan ragam biota laut nya telah terkenal sampai ke manca negara. Para wisatawan dan ilmuwan telah banyak berkunjung untuk menikmati dan mempelajari keragaman hayati nya.
Di dalam kawasan kota Bau-Bau sendiri, panorama pesisir pantai bisa dinikmati di pantai Lakeba dan pantai Nirwana, selain tentu nya memanjakan selera kuliner di pantai Kamali sembari menyaksikan keindahan matahari tenggelam. Bila anda memiliki waktu, tak ada salah nya berkunjung ke Bau-Bau untuk menikmati ragam destinasi wisata dan menjalin keakraban dengan penduduk asli setempat, suku Wolio.