Gendang para ‘bhisa’
Ternyata status keperawanan seorang wanita bisa di ketahui dari pecah atau tidak nya sebuah gendang yang di tabuh. Pernyataan ini mungkin mengusik sebagian besar dari anda, namun bagi suku Wolio yang menghuni sebagian besar daratan Buton, pernyataan ini bisa jadi benar adanya.
Buton sendiri adalah nama sebuah pulau yang melengkapi pesona budaya provinsi Sulawesi Tenggara. Dari ibukota provinsi nya, Kendari, Buton bisa di capai lewat penyeberangan laut selama 5 jam dengan menggunakan kapal cepat. Buton juga bisa di capai dengan 1 jam penerbangan dari Makassar dengan kota Bau-Bau sebagai akhir dari penerbangan nya.
Posuo
Memukul gendang di upacara ritual yang melibatkan para gadis yang akan beranjak dewasa atau akan di nikah kan adalah bagian dari tradisi Posuo, atau yang dalam keseharian lebih kita kenal dengan istilah ‘pingitan’. Lebih lengkap nya, Posuo adalah kesinambungan proses ‘pingitan’ yang berakhir di malam ke delapan sejak di mulai nya acara – tradisi ini berlangsung turun temurun hingga saat ini sebagai titis warisan dari kesultanan Buton di masa yang lalu.
Adalah para ‘bhisa’ yang memukul gendang bertalu-talu di setiap malam Posuo. Mereka tak lain adalah para wanita tua yang memiliki ilmu kebatinan (magis) dan karena nya juga dianggap memiliki kemampuan yang lebih di bandingkan wanita-wanita pada umum nya. Pukulan gendang oleh para ‘bhisa’ ini juga mengalun mengiringi kalimat-kalimat dalam bahasa wolio yang di dendangkan sebagai nyanyian-nyanyian tradisional. Kesucian para gadis yang mengikuti upacara ini juga bisa ‘di ketahui’ lewat pukulan ‘paganda’ (‘bhisa’ pemukul gendang), pecah nya paganda ketika di pukul adalah tanda bahwa ada seorang yang tidak perawan di antara para gadis tersebut.
Sebenarnya memukul gendang bukanlah tugas utama dan satu-satu nya bagi para ‘bhisa’ yang keberadaan nya telah di akui dan dipilih oleh para pemangku adat setempat. Sebagian dari mereka juga mendidik dan membina para ‘labuabua’ (para gadis remaja) untuk tumbuh menjadi seorang ‘kalambe’ atau wanita Wolio yang lebih dewasa, yang nantinya akan lebih siap memasuki bahtera rumah tangga bila telah tiba waktu nya.
Ujian, tantangan dan godaan di kehidupan rumah tangga di harapkan bisa di lalui lewat pendidikan agama, prilaku dan etika – kesemuanya di sampaikan lewat pesan-pesan spiritual dan moral kepada para ‘labuabua’ di sepanjang malam Posuo. Tidak ketinggalan pula, rangkaian cara merawat kecantikan diri dengan menggunakan pilihan rempah-rempah alami tertentu juga diajarkan oleh para ‘bhisa’ kepada ‘anak didik’ mereka.
Tradisi Posuo di awali dengan prosesi ‘pauncura’ atau pengukuhan para gadis sebagai ‘anak didik’ yang nantinya akan di beri ‘pembekalan’ selama lebih dari seminggu oleh para ‘bhisa’.
Pada tahapan ini para ‘bhisa’ akan mengusap tubuh para gadis dengan sapuan asap kemenyan yang sebelum nya telah di bakar dengan pembacaan doa-doa tertentu. Prosesi ‘pauncura’ ini di pimpin oleh salah seorang ‘bhisa’ yang ‘di tuakan’ oleh para ‘bhisa’ lain nya, ‘bhisa’ yang di tua kan ini di sebut sebagai ‘parika’.
Seperti juga yang kerap terlihat di beberapa tradisi pingitan suku-suku lain di Indonesia, para ‘labuabua’ ini tidak diperbolehkan berinteraksi dengan dunia luar. Kecuali berada di bawah binaan para ‘bhisa’, selama rentang waktu delapan hari dan delapan malam para gadis remaja Wolio ini tidak di perbolehkan bertemu dengan teman – teman atau pun sanak dan kerabat nya. Di dalam sebuah ruangan yang telah di siapkan sebelum nya – masyarakat Wolio menyebut ruangan ini dengan istilah ‘suo’ – mereka berkumpul dan menjalani prosesi ini sampai selesai.
Tahapan kedua dari ritual Posuo ini adalah menghadap kan kaki-kaki para gadis kearah timur dan kepala mereka ke arah barat, setelah sebelum nya mereka berbaring dengan kepala menghadap ke selatan dan kaki mereka menghadap ke utara. Prosesi yang di kenal sebagai ‘bhaliana yimpo’ adalah kiasan bagi berubah nya penampilan para ‘labuabua’. Prosesi ini di lakukan di hari kelima setelah para gadis di kumpulkan ke dalam ‘suo’.
Para sanak kerabat, teman dan keluarga akan datang ke ‘suo’ untuk mengunjungi para ‘labuabua’ di malam yang ke delapan. Di malam yang terakhir dan juga tahapan penutup dari rangkaian prosesi yang cukup panjang ini, seorang istri dari pejabat Masjid Keraton atau istri dari tetua adat akan memimpin pelaksanaan pemakaian baju ‘aja kalambe’.
Baju khas daerah ini menunjukkan kepada siapa pun yang melihat nya bahwa pemakai nya adalah seorang gadis Wolio yang telah dewasa. Khusus untuk gadis yang akan di nikah kan, sebelum nya diri nya telah di mandikan terlebih dahulu dengan air yang telah di campur oleh bunga kamboja dan cempaka.
Di malam yang terakhir para gadis-gadis cantik Wolio ini juga di daulat untuk menarikan ‘Kalegoa’. Kibasan selendang dan lambaian sapu tangan di tangan mereka seolah memaparkan kesedihan dan kegembiraan selama di bina oleh para ‘bhisa’ di dalam ‘suo’.
Demikianlah, Posuo adalah salah satu dari sekian banyak tradisi suku Wolio di Pulau Buton yang bukan hanya menarik namun di sisi lain juga semakin terkikis oleh ketidak pedulian dan kemajuan zaman. Ritual ini bisa anda nikmati bila anda berkunjung ke bagian tenggara pulau Sulawesi, di sebuah pulau bernama Buton yang merupakan salah satu dari ribuan kepulauan yang membentang di bumi Katulistiwa.
Title : Acara Posuo
Description : Gendang para ‘bhisa’ Ternyata status keperawanan seorang wanita bisa di ketahui dari pecah atau tidak nya sebuah gendang yang di ta...